Halaman

Minggu, 11 Desember 2011

Sejarah Tari Nusantara

Sejarah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa dari India, Arab, Cina, dan Barat (dataran Eropa) berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya seni budaya, khususnya seni tari di Indonesia. Sentuhan dan ide kreatif para seniman bangsa ini sangat berpengaruh terhadap budaya bangsa lain sehingga tidak lagi terlihat ciri budaya asingnya. Sikap jemari tangan ngruji, nyempurit, dan ngiting pada Tari Jawa (gaya Yogyakarta dan Solo) merupakan pengaruh sikap tangan paham India. Ketiganya mengandung arti yang berbeda pada kitab seni Tari India, yaitu Natya Sastra karya Baratha Muni. Pengaruh ini sejalan dengan proses perkembangan budaya menjadi larut dalam kultur masyarakat setempat. Sebagai contoh kecil, pembauran dan larutnya kultur antarbangsa yang berbeda pada seni tari tradisional Anda, terdapat pada bentuk gerak tari yang satu sama


lain menyerupai, tetapi dengan nama yang berbeda. Pada tari gaya Yogyakarta, gerak seperti ngruji yang dipakai untuk bentuk gerak tangan yang juga dipakai untuk salah satu gerak tari Bali. Bentuk gerak yang sama dipakai istilah ngruyung untuk gaya Solo, dan di Sunda digunakan istilah nanggre. Istilah mudra pataka atau ngruji, atau ngruyung pada ajaran India yang bersumber dari Natya Sastra, mengandung arti sebagai berikut:
-hutan
-sungai atau laut
-kuda
-waktu malam
-bulan purnama
-hari hujan
-sinar matahari
-bulan atau tahun
Pada umumnya, pemakaian sikap tangan mudra ini mengutamakan segi estetisnya dibanding ekspresi secara simbolis. Dengan kata lain, meskipun bentuk gerak sama dengan simbol ajaran Hindu di India, gerakan yang dilakukan tidak mengandung arti tertentu bagi Anda. Gerakan dipakai dan ditempatkan dalam koreografi dengan alasan hanya karena bentuknya yang dinilai indah. Setelah melewati fase feodalisme, kondisi sosial ekonomi di Indonesia membaik, perkembangan seni tari tradisional mendapat tempat yang ‘membaik’ pula. Masyarakat tidak lagi ragu untuk berkreativitas menuangkan ide dan karya yang inovatif, setelah selama ini dibelenggu oleh status sosial yang menganggap bahwa pribumi (inlander) bodoh. Sebelumnya, tari hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan para pejabat kolonial, sebagai sebuah hiburan yang memuaskan mereka. Pada saat bangsa terlepas dari kolonialisme, dunia seni tari tradisional merebak bak jamur di musim semi, setiap daerah memiliki sanggar-sanggar tari yang dipenuhi para peminat. Berpuluh-puluh–bahkan beratus-ratus tarian–di setiap daerah dipelajari, diperkenalkan, dan masuk ke kalangan pejabat sebagai hiburan atau tari persembahan. Hal ini menimbulkan gairah bagi para koreografer untuk semakin menambah kekayaan seni tari Indonesia. Mereka menyelenggarakan festival-festival tari daerah, juga kursus tari bagi semua kalangan. Tarian yang berkembang karena efek sosial dan psikologis, menempatkan tari menjadi sebuah media ungkapan jiwa yang dapat memberikan profit, juga media kritik, media refleksitas hidup masyarakat, media ungkap bagi jiwa yang memiliki kebebasan hidup. Hal ini menciptakan tarian yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tari kreasi baru, mengembangkan tari tradisional menjadi lebih modern pada masa itu dengan sentuhan koreografi yang tetap berakar pada tari tradisi. Misalnya, tari tunggal/kelompok dari Bali pada Tari Kebyar Duduk; tari berpasangan dari Melayu Sumatra, yaitu Tari Serampang Dua Belas; tari kelompok dari Aceh, yaitu Tari Saman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar